Merajut Mimpi dari Busoa

Jarang yang mengira bangunan sederhana  itu adalah gedung sekolah. Letaknya sekitar tiga puluh meter dari pinggir jalan. Di halaman depan terdapat padang rumput yang sering digunakan untuk makan kambing atau sapi milik warga. Bangunan itu terdiri dari tiga ruang kelas yang terbuat dari papan batang kayu kelapa. Atapnya dari seng.

Di dua ruangan yang berfungsi sebagai kelas, masing-masing terdapat lima meja dan delapan kursi kayu. Sementara di satu ruangan yang berfungsi sebagai ruang guru, tidak ada isinya sama sekali. Lantainya, masih berupa tanah liat dengan kerikil-kerikil sekepalan tangan manusia. Di pinggir jalan depan bangunan tersebut, terdapat papan nama bertuliskan “Madrasah Tsanawiyah Busoa”.

Busoa adalah nama kelurahan di Kecamatan Batauga, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara. Sekolah ini resminya didirikan pada pertengahan tahun 2010. Ketika saya mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) di daerah ini pada tahun 2011 lalu, berarti usianya menginjak semester ke tiga. Muridnya baru enam belas orang. Delapan orang di kelas 7, dan delapan orang di kelas 8.

Menurut La Faizu, kepala sekolah MTs Busoa, pendirian sekolah ini bermula dari kegelisahan yang ia rasakan. Pertama, ia ingin memberikan bekal pendidikan agama yang cukup di sekolah yang setara dengan SMP bagi anak-anak miskin di kampungnya. Biasanya, warga harus menyekolahkan anaknya di kota jika ingin mendapatkan pendidikan agama yang memadai. Padahal, jaraknya cukup jauh dan mesti mengeluarkan biaya dalam jumlah yang besar.

Kedua, kemampuan masyarakat dengan kemampuan ekonomi menengah ke bawah untuk mengakses pendidikan begitu sulit. Tak mengherankan jika lulusan SD kemudian banyak yang bekerja. Alih-alih meneruskan belajar, anak-anak ini lebih memilih bekerja untuk membantu orang tua. Tentu saja, pilihan ini lebih banyak didasarkan pada situasi “yang memaksa”daripada sebuah “kesadaran sendiri”.

Ketika saya melihat data terakhir yang terangkum dalam laporan Buton Dalam Angka Tahun 2009, jumlah angkatan kerja di Kabupaten Buton yang merupakan lulusan SD mencapai 38.831 jiwa. Bandingkan dengan angka 22.919 lulusan SMP, dan 13.651 lulusan SMA. Rata-rata lulusan SD ini bekerja sebagai buruh kasar seperti penambang pasir, kuli bangunan dan juga sebagai sopir angkot.

Dalam kondisi itulah La Faizu memilih untuk tidak begitu saja menerima keadaan. Sejak awal 2010, ia mulai mengajak tetangga-tetangganya untuk mendirikan sekolah untuk warga yang kurang mampu. Ia menceritakan pada awalnya banyak yang apatis. “Buat apa? Paling juga hasilnya sia-sia”, begitu respon yang sering didapatkan oleh guru mata pelajaran sejarah di SMPN 1 Batauga ini.

Tapi ia tetap ngotot. Juli 2010, sekolah ini resmi berdiri. Muridnya ada delapan orang, Tia, Yanti, Iki, Wulan, Irfan, Faris, Amin, dan Harmin. La Faizu mengajar sendirian di banyak mata pelajaran seperti Bahasa Indonesia, Matematika, IPS, dan Agama.  Karena hanya mengajar sendirian, jam pelajaran pun menyesuaikan dengan jam mengajarnya di SMP 1. Kondisi ini terjadi sampai satu tahun kemudian.

Beberapa teman-teman guru La Faizu sudah membantu mengajar. Termasuk juga beberapa remaja anggota karang taruna yang secara khusus diminta oleh La Faizu. Salah satunya Astam, remaja yang mengurus masjid di kampung tersebut. Namun karena para pengajar itu hanya dapat mengajar “sebisa waktunya”, maka sekolah  kadang masuk, tapi tidak jarang juga diliburkan. Kalau sudah begini, murid-murid diberi tugas pekerjaan rumah. Seperti diungkapkan La Faizu, “Setidaknya anak-anak tetap belajar.”

Oh, iya. Jangan bayangkan bangunannya langsung jadi seperti deskripsi saya di awal. Pada mulanya, sekolah ini menumpang di warung kecil milik warga berukuran kira-kira 2 x 3 meter. Warung ini terletak di pinggir jalan yang berhadapan-hadapan dengan lahan rumput yang selanjutnya menjadi lokasi bangunan sekolah. Baru setahun kemudian La Faizu berhasil mengumpulkan donatur dari warga dan mendirikan bangunan yang lebih layak.

Kerja Keras

“Saya ingin menjadi guru kak,” ujar Yeni Rahmawati (13 tahun), siswi kelas 7 di sekolah ini. Ia ingin mengabdikan diri sebagai pengajar untuk mendidik masyarakat. Yeni, begitu ia disapa, setiap hari berjalan kaki dengan menempuh perjalanan sepanjang sepuluh kilometer pulang-pergi agar bisa sampai di sekolah.

Jarak ini bisa jadi akan terasa dekat jika jalannya mulus. Namun, status sebagai jalan kabupaten tidak membuatnya nyaman dilewati. Jalan ini lebarnya hanya sekitar lima meter. Terletak di tengah belantara hutan,  permukaan wajahnya penuh dengan bopeng-bopeng besar. Semakin berbahaya apabila dilewati ketika musim hujan. Kondisi jalan tersebut sebenarnya cukup ironis jika mengingat fakta bahwa Buton merupakan daerah penghasil aspal terbesar di Indonesia.

Yeni sendiri mengaku tidak takut berjalan kaki. Apabila hujan, ia menggunakan daun pisang sebagai payung. Seperti yang ia katakan, lebih baik berjalan kaki daripada naik angkot. Selain lebih sehat juga tidak perlu mengeluarkan ongkos. Apabila hari sudah terlalu sore, sesekali temannya di sekolah seperti Yanti (13), Tia (14), dan Faris (14) mengantarnya pulang.

La Faizu bukan tidak sadar dengan berbagai keterbatasan yang dirasakan oleh murid-muridnya termasuk Yeni tersebut. Ia menggratiskan biaya pendidikan di sekolah ini dan sedang mengusahakan Beasiswa Operasional Sekolah dari pemerintah. Berkali-kali ia memotivasi mereka agar tidak putus asa. Dalam pembukaan Masa Orientasi Siswa Baru (MOS) 2011/2012 pada 7 Juli 2011, La Faizu berkata, “Meskipun berada di sekolah kecil, kalian harus tetap rajin belajar supaya nanti bisa jadi bos di Jakarta.”

Hampir setiap hari ia juga menyuruh murid-muridnya untuk membersihkan batu-batu sekepalan tangan manusia yang ada di lantai kelas. Kadang-kadang juga membersihkan kotoran kambing yang malam harinya masuk ke dalam ruangan. Dalam aktivitas bersih-bersih inipun, kerap kepala sekolah menyisipkan kata-kata motivasi. “Meskipun ruangan kelas kalian seperti ini, kalian pasti bisa berprestasi seperti mereka yang sekolahnya lebih bagus.”

Mendengarkan ucapan kepala sekolah ini, saya trenyuh. Dengan segala kompleksitas masalah yang melingkupinya, Jakarta masih menawarkan mimpi bagi sebagian orang di pelosok negeri. Inilah ketidakadilan yang saya saksikan dengan telanjang. Pendidikan yang berkualitas hanya berpusat di beberapa daerah saja, khususnya Jawa. Kebijakan pemerintah yang diskriminatif membuat jurang itu menganga begitu lebar.

Padahal di daerah lain, di penjuru negeri seperti di Buton ini, setiap hari anak-anak sekolah, pun gurunya, bekerja keras untuk tetap menggantungkan cita-cita setinggi langit. Mereka adalah pekerja keras yang ingin maju dan menghadirkan kehidupan yang lebih baik di masa depan.

Ikhtiar La Faizu bersama murid-muridnya adalah bukti nyata. Ini adalah langkah sederhana untuk merajut mimpi. Rajutan yang tidak dilumuri dengan keluhan di tengah segala keterbatasan. Berusaha dengan sejauh kemampuan, berharap hasil yang terbaik. Seolah ingin mengamini pepatah lawas, would rather light a candle, than curse the darkness.

2 pemikiran pada “Merajut Mimpi dari Busoa

Tinggalkan komentar