Pasang Surut Pers di Era Orde Baru

 

kover buku pers di era orde baru

  • Judul Buku    : Pers di Masa Orde Baru
  • Penulis           : David T.Hill
  • Penerbit          : Yayasan Pustaka Obor Indonesia
  • Tebal               : xix + 231
  • Cetakan          : Juli 2011

Pembredelan demi pembredelan menyusun sejarah pers di era Orde Baru. Pembredelan pers menunjukkan kontradiksi dalam demokrasi yang selalu digembar-gemborkan oleh Soeharto. Aturan konstitusi digunakan sebagai alat untuk mengekang kebebasan menyampaikan pendapat. Pers yang melakukan kritik terhadap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh rezim dibungkam. David T. Hill mencatatnya.

Seperti dijelaskan oleh Hill dalam buku ini, rezim Orde Baru sejak awal berdirinya telah melakukan pembungkaman sistematis terhadap pers. Pasca gonjang-ganjing politik pada bulan Oktober 1965, 46 dari 163 surat kabar ditutup dengan paksa. Ratusan wartawan yang berafiliasi dengan komunis dan kaum “kiri” dipecat dari keanggotaan di Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Mereka bahkan ditangkap dan diinterogasi oleh aparat. Pembersihan besar-besaran terhadap pers dari unsur “kiri” dilakukan oleh pemerintah.

Setelah itu serangkaian aturan untuk “menjinakkan” pers dikeluarkan. Salah satunya adalah Undang-Undang Pers tahun 1966 yang menyebutkan bahwa penerbitan surat kabar wajib memiliki dua izin yang berkaitan. Pertama adalah Surat Izin Terbit (SIT) yang dikeluarkan Departemen Penerangan. Sementara yang kedua adalah Surat Izin Cetak (SIC) yang diberikan oleh lembaga militer KOMKATIB. Pencabutan izin yang dilakukan oleh salah satu atau dua lembaga tersebut secara otomatis berarti pembredelan terhadap media yang bersangkutan.

Meskipun mulai muncul tanda-tanda otoritarianisme Orde Baru, di era ini relasi antara pers dan pemerintah cukup erat. Keduanya masih dihinggapi euforia kebersamaan setelah berhasil menjatuhkan kekuasaan Soekarno. Orde Baru memberi keleluasaan terutama kepada pers yang anti Soekarno dan komunis. Hubungan ini baru mulai renggang di era 1970an yang mencapai puncaknya pada bulan Januari 1974 ketika Perdana Menteri Jepang Tanaka berkunjung ke negeri ini.

Kunjungan ini disambut dengan aksi demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa dan masyarakat. Sementara kritikan demi kritikan terhadap pemerintah hampir setiap hari diterbitkan oleh banyak surat kabar. Gelombang protes yang berawal dari kebijakan-kebijakan pemerintah terutama di bidang ekonomi yang elitis dan tidak pro rakyat.

Pada 15 Januari 1974, pecahlah huru-hara yang dikenal sebagai Malapetaka 15 Januari (Malari). Setelah peristiwa ini, wajah asli Orde Baru terlihat jelas. 12 penerbitan yaitu Indonesia Raya, Harian Kami, Mahasiswa Indonesia, Nusantara, Abadi, The Jakarta Times, Mingguan Senang, Pemuda Indonesia, Ekspres, Pedoman, Suluh Berita, dan Indonesia Pos dibredel. Semuanya dilarang terbit sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Pers di Indonesia tiarap, tunduk terhadap aturan-aturan rezim.

Industrialisasi Pers

Selain menyoroti naik turunnya relasi antara pers dan pemerintah, dalam buku ini Hill juga memotret industrialisasi pers yang mulai tumbuh di era Orde Baru. Ini sekaligus menandai babak baru perkembangan pers di Indonesia. Sensor ketat rezim memaksa pers harus mengambil pilihan-pilihan pragmatis agar bisa bertahan hidup. Ditambah dengan bonanza minyak di akhir 1970an yang memicu pembangunan di bidang ekonomi, industri pers mulai menanjak.

Investasi dalam media menjadi bidang yang mulai diminati banyak orang. Karena tumbuh menjadi bisnis yang menjanjikan, diversifikasi usaha dilakukan oleh para pemilik perusahaan pers untuk menyiasati ancaman bredel yang bisa saja datang sewaktu-waktu. Era awal konglomerasi media di mana banyak media hanya dikuasai oleh segelintir pengusaha saja. Keberhasilan para pengusaha dalam melakukan konglomerasi media ini merupakan keberanian dalam menerjemahkan situasi politik serta memanfaatkan peluang bisnis.

Jika kita lihat , fenomena konglomerasi media tersebut terus berkembang bahkan sampai saat ini. Dalam situasi di mana informasi hanya berkutat di segelintir pengusaha, ketakutan mengenai monopoli informasi patut untuk diapungkan. Apalagi dalam kondisi di mana pers begitu ketat diawasi pemerintah. Sangat besar kemungkinan monopoli informasi tersebut bisa menguntungkan pemerintah.

Seperti yang diungkapkan oleh Ariel Heryanto, pers menjadi alat yang penting dalam memelihara dan membantu beranak pinaknya legitimasi Orde Baru. Legitimasi yang diperoleh  melalui kekuasaan simbolik di mana rezim memiliki kekuasaan untuk mengonstruksi realitas. Yaitu tatanan gnoseological atau pemaknaaan yang paling dekat mengenai dunia sosial sebuah kelompok masyarakat. Ketika sebuah peristiwa tertentu telah diterima nalar awam publik, maka kekuasaan telah didapatkan.

Pers Alternatif

Dalam kondisi di mana pembredelan pers serta tahapan industrialisasi media yang semakin melanggengkan kekuasaan rezim, muncullah kemudian apa yang disebut sebagai pers alternatif. Hill menyebutnya sebagai pers pinggiran. Pada mulanya, pers-pers pinggiran ini muncul sebagai bentuk ketidakpuasan masyarakat terhadap keterbatasan akses informasi. Namun pada perkembangannya pers pinggiran ini menjadi media bersama dalam menggalang wacana untuk melakukan perlawanan terhadap rezim.

Dimotori oleh pers mahasiswa yang menjamur di berbagai kampus, mereka menjadi lokomotof utama oposisi. Puncaknya adalah ketika menggalang aksi-aksi demonstrasi menentang pembredelan terhadap Tempo, Detik, dan Editor pada tahun 1994. Pasca pembredelan, aksi demonstrasi dilakukan dari kota ke kota dan menjalar ke seluruh daerah di Indonesia. Aksi ini terus berlanjut sampai satu tahun. Aksi demonstrasi terpanjang dalam sejarah pers di Indonesia.

Inilah yang membuat buku ini menarik. Hill menjelaskan kasus pembredelan pers, perkembangan indutrialisasi, sampai munculnya pers alternatif. Setidaknya, buku ini berhasil menggambarkan pasang surut pers selama Orde Baru.

4 pemikiran pada “Pasang Surut Pers di Era Orde Baru

Tinggalkan komentar