Old Trafford yang Menua

Dua kali bermain di Old Trafford dalam debut di UEFA Europa League, dua kali memasukkan gol terlebih dahulu, dan akhirnya kalah. Kekalahan ini hadir dalam wajah yang identik. Janji Fergie untuk bermain lebih serius di Piala UEFA rasa-rasanya tidak ia tepati.

Setelah kekalahan yang mengejutkan dari Ajax Amsterdam di leg kedua babak 32 besar yang lalu, opa asal Skotlandia ini mengaku sedikit menyesal telah memainkan empat wajah muda di barisan pertahanan. “Kesempatan bagus bagi Phil Jones Chris Smalling, tapi kekurangan pengalaman mereka membuat laga menjadi lebih ketat,” ungkapnya.

Saya kira barisan pertahanan memang menjadi titik lemah MU musim ini. Mayoritas masih berusia di bawah 25 tahun yang minim pengalaman. Johny Evans sering membuat blunder, kartu merah melawan City bisa menjadi satu contoh. Hasrat Phil Jones untuk menyerang terlihat lebih besar dari tugasnya untuk bertahan, Chris Smalling masih sering ragu-ragu, dan Rafael, dia masih sangat sembrono.

Kartu merah yang dia terima ketika melawan Muenchen dua tahun lalu di Liga Champion seharusnya cukup menjadi pelajaran. Tapi ternyata tidak. Kesembronoan itu jelas terlihat ketika gol ketiga Bilbao terjadi. Rafael menunggu bola yang berhasil di tepis oleh De Gea tanpa sadar bahwa di belakangnya Muniain mengejar bola. Akibatnya fatal. Munain bisa lebih dahulu menendang bola ke gawang. 3-1.

Tidak hanya momen itu saja. Berkali-kali de Gea marah karena para pemain Bilbao memiliki banyak ruang kosong untuk menembak. Beruntung, jambul rambut khasnya bertuah. Ia main bagus tadi malam. Kiper muda Spanyol setidaknya berhasil mementahkan 7 peluang bersih Bilbao.

Menggunakan banyak pemain muda barangkali merupakan agenda Fergie untuk menyiapkan fondasi kokoh buat United pasca ia tinggalkan nanti. Sayangnya, ia gagal memberikan pendamping yang tepat untuk anak-anak muda yang lebih pantas menjadi cucunya itu. Cedera silih berganti menghampiri Rio Ferdinand dan Nemanja Vidic. Patrick Evra kadang masih terlihat gamang menjadi kapten di lini belakang.

Tidak ada inspirasi dan wibawa ala Roy Keane, atau setidaknya Gary Neville. Pun tidak ada komando dari penjaga gawang seperti yang biasa dilakukan Peter Schmeichel atau Edwin van Der Sar. Duo kiper De Gea dan Anders Lindeergard terlihat jelas belum memiliki cukup pengalaman untuk mengontrol lini belakang.

De Gea masih bimbang dalam menghadapi bola-bola jarak jauh dari luar kotak penalti. Lindeergard sebaliknya, gamang berhadapan dengan situasi one on one dan kemelut di dalam kotak penalti.

Bukankah kelemahan lini belakang ini terlihat jelas menganga di musim ini? Old Trafford menjadi saksinya. Di liga, MU sudah dua kali kalah di kandang. 1-6 dari City, 2-3 dari Rovers. Di Piala Carling, tuan rumah bahkan tersingkir setelah dipermalukan Crystal Palace 1-2. Sementara di pentas Eropa, United sudah 5 kali memainkan pertandingan, tapi kebobolan sudah mencapai jumlah dua kali lipat dari angka itu, 10 gol! 3-3 vs Basel, 2-2 vs Benfica, 1-2 vs Ajax, dan 2-3 vs Bilbao.

Entahlah. Selain faktor kelemahan lini belakang, jangan-jangan tuah Old Trafford sudah menurun seiring usinya yang semakin menua. Usia theatre of dreams ini memang hampir sama tuanya dengan United. Selama era Premier League, ia menjadi stadion kebanggaan Setan Merah yang rataan penontonnya paling banyak di Inggris. Lebih dari 75.000 orang menyaksikan MU ketika mentas di kandangnya sendiri.

Yang menarik, jumlah rataan sebanyak itu ternyata tidak sebanding dengan dukungan yang diberikan oleh penonton. Penonton di Old Trafford terhitung sebagai penonton yang diam dan lebih suka memperhatikan permainan alih-alih berteriak dan bernyanyi memberi dukungan. Ini berbeda misalnya, jika kita bandingkan dengan penonton di Anfield, atau bahkan di White Hart Lane.

Saking pendiamnya suporter United di Old Traffor, Roy Keane ketika masih menjadi kapten bahkan sampai jengkel. Dengan sedikit sarkastik ia berkata bahwa para suporter di Old Trafford seharusnya menghentikkan kebiasaan menyaksikan laga sambil makan burger dan minum coke. Mereka harus lebih banyak berteriak dan mengintimidasi lawan.

Kalau anda sempat memperhatikan dua laga UEFA European League yang dilakoni United di kandang, Old Trafford terlihat lebih ramai dan semarak. Saya sempat berharap keramaian ini datang dari para Manchunian. Sayangnya tidak. Hiruk pikuk ini muncul dari tribun suporter tamu. Lihat saja betapa bentangan dan lambaian syal justru lebih sering dilakukan suporter Ajax dan Bilbao. Suporter Ajax bahkan membawa drum dan terompet.

Kadang saya berpikir, kalau saya punya kesempatan untuk menyaksikan laga United di sana, mungkin saya akan membawa terompet dan berteriak-teriak. Persis seperti yang biasa saya lakukan ketika menyaksikan PSIS di Jatidiri? Hmm. Jangan-jangan penonton di Jatidiri dan stadion lain di Indonesia lebih atraktif dibanding Old Trafford? Tapi saya kira tidak. Ketidakbecusan PSSI mengurus sepakbola telah membuat olahraga ini menjadi semakin tidak menarik lagi di Indonesia. Tapi sudahlah.

Oh, iya. Tentu saja saya berharap penampilan United di UEFA Europa League musim ini bisa setegar penampilan mereka di liga. Kekalahan 2-3 dari Bilbao bukan tidak mungkin untuk dikejar. Penalti Rooney di menit akhir adalah harapan. Ini membuat Setan Merah cukup menang dengan selisih 2 gol di San Mames nanti. Semoga.